Minggu, 23 Oktober 2011

Karnaval budaya Tidore

[halmaheranews-TIDORE-21/5/2011] Karnaval adat Tidore yang digelar Ikatan Guru Taman Kanak-kanak (TK) Indonesia (IGTKI) Kota Tidore Kepulauan, kamis (19/5) sore lalu, mendapat perhatian serius dari ribuan orang.Karnaval tersebut melibatkan sekitar 1500 orang siswa TK se Kota Tidore Kepulauan dengan mengenakan berbagai ragam pakaian adat Tidore dan pakaian nasional, mereka berjalan kaki sejauh sekitar 1 km dari depan SMP N 1 Tidore menuju tempat finis Kantor Walikota Tidore.
Sepanjang jalan yang dilalui, mereka mendapat sambutan meriah dari ribuan orang yang memadati tepi jalan. Saking banyaknya warga yang ingin melihat dari dekat gaya dari anak usia dini tersebut hingga membuat arus lalulintas sepanjang jalan taman siswa, jalan Pattimura, Jalan Nuku II dan sebagian jalan Sultan mansur macet total.
Para para pengendara kendaraan roda dua, empat maupun angkutan umum dan bentor beserta penumpangnya turun dari angkot dan bentor menyaksikan dari dekat aksi siswa TK yang mengenakan.mulai dari pakaian upacara adat, perkawinan, pakaian adat untuk prosesi jako seruko, pakaian dan peralatan yang digunakan petani, nelayan, tukang batu, tukang kayu, hingga pakain nasional lainnya diperagakan secara apik.
Saat tiba di Kantor Walikta, para peserta karnaval diterima oleh Walikota H. Achmad Mahifa. Menariknya anak-anak usia dini ini ketika melewati panggung utama, mereka memberikan penghormatan secara adat suba kepada Walikota H. Achmad Mahifa dan undangan lainnya.
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Kadispora) Kota Tidore Kepulauan, di sela-sela pelepasan peserta Karnaval menjelaskan bahwa kegiatan Karnaval Adat Tidore tersebut sebagai salah satu upaya positif untuk memperkenalkan nilai-nilai adat dan budaya Tidore kepada siswa TK sejak dini.
Ketua IGTKI-PGRI Kota Tidore Kepulauan Ny. Hamidah Hamid, S.Pd, mengatakan kegiatan tersebut dalam rangka memeriahkan Hari Pendidikan Nasional, Hari Kebangkitan Nasional, HUT Pemerintahan Kota Tidore Kepulauan Ke 8 dan HUT IGTKI Ke 61 tahun 2011.(end)

sumber ;http://halmaheranews.com/2011/05/21/karnaval-budaya-1500-siswa-taman-kanak-kanak-di-tidore/ 

Menelusuri jejak-jejak sejarah kesultanan Jailolo

Suatu hal yang jarang dilakukan oleh para pemerhati sejarah dan budaya “Moloku Kie Raha” (Maluku Utara) adalah membahas tentang Kesultanan Jailolo di pulau Halmahera yang telah lama vacum. Hal ini disebabkan minimnya sumber dan referensi yang menunjang pembahasan tentang hal itu. Dalam penulisan sejarah oleh bangsa Eropa, Jailolo sering ditulis “Gilolo” yang menurut sebagian besar sumber barat dianggap sebagai cikal-bakal kerajaan-kerajaan berikutnya di kawasan Maluku bagian utara, (kerajaan pertama dan tertua di jazirah maluku).
penobatan-abdullah-syah-sebagai-sultan-jailolo2
Menelusuri dan membahas jejak sejarah kesultanan Jailolo, menjadi lebih menarik akhir-akhir ini, setelah dinobatkannya Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah menjadi Sultan Jailolo yang dilakukan di dalam keraton kesultanan Ternate atas prakarsa Sri Sultan Ternate ; H. Mudafar Syah II pada beberapa tahun yang lalu. Yang lebih menarik lagi dari itu adalah menelusuri keturunan dan sisilah para raja Jailolo itu sendiri.

sumber;
http://ternate.wordpress.com/

Sekilas Tentang Cakalele

Sejak masa terbentuknya masyarakat pertama di Ternate, Cakalele sudah menjadi tradisi masyarakat di kepulauan ini. Seperti halnya di tempat lain di kepulauan Maluku dan sekitarnya, “Cakalele” merupakan bentuk tradisi atau kebiasaan dalam masyarakat tradisional di daerah ini. Tradisi Cakalele sebenarnya bermula dari daerah Maluku Utara, yang kemudian meluas ke daerah-daerah pengaruh kerajaan hingga sampai ke daerah Maluku Tengah (Ambon & Seram), termasuk juga ke wilayah semenanjung Sulawesi bagian utara (di Minahasa juga ada tradisi Cakalele ini) dan juga di kawasan sepanjang pantai timur pulau Sulawesi. Mereka masih tetap menggunakan istilah Cakalele ini sebagaimana sebutan asal yang berasal dari kosa kata bahasa Ternate.
PENGERTIAN
Pentas Calkalele di FKN
Menurut budayawan asli Ternate Abdul Hamid Hasan, dalam bukunya; “Aroma Sejarah dan Budaya Ternate” (1999), menguraikan bahwa pengertian Cakalele secara etimologi dalam bahasa Ternate, terdiri atas dua suku kata, yaitu “Caka” (syaitan/roh) dan “Lele” (mengamuk). Hingga saat ini masyarakat Ternate masih menggunakan istilah Caka untuk menyebut roh jahat, istilah serupa adalah “Suwanggi“. Jadi, pengertian kata Cakalele secara harafiah berarti “setan / roh mengamuk”. Bila jiwa seseorang telah dirasuki syaitan/roh, maka ia tidak takut kepada siapapun yang dihadapi dan ia telah haus akan darah manusia. Dengan demikian, menurut Abdul Hamid Hasan atraksi Cakalele di dalam peperangan ataupun uji coba ketahanan jiwa raga seseorang dalam “Legu Kie se Gam” berbeda dengan Cakalele yang sekedar ditampilkan pada upacara resmi lain.
Pada upacara resmi lain, penampilan atraksi serupa Cakalele biasanya disebut “Hasa”, tetapi karena pertarungannya sama dengan Cakalele, maka juga disering disebut orang sebagai Cakalele. Hasa hanya merupakan atraksi menyerupai Cakalele. Bedanya para pelaku atraksi Hasa tersebut berada dalam keadaan sadar (termasuk dalam atraksi pertarungan karena jiwanya tidak terasuk roh/jin). Tidak demikian hal dengan Cakalele, karena jiwa pelaku dari kedua belah pihak yang sedang atraksi (bertarung) telah dirasuki syaitan/roh, sehingga semua gerakan yang dilakukan adalah dibawah alam sadar.

Sumber : http://ternate.wordpress.com/

Tradisi Kololi Kie

PENGANTAR
Setiap penduduk asli di pulau Ternate di Provinsi Maluku Utara pasti pernah mendengar dan tahu arti dari kata  “Kololi Kie” yaitu sebuah kegiatan ritual masyarakat tradisional untuk mengitari atau mengililingi gunung Gamalama sambil menziarahi beberapa makam keramat yang ada di sekeliling pulau kecil yg memiliki gunung berapi ini.
Menurut sejarawan  terkenal Leonard Andaya (dalam Reid, 1993: 28-29), bahwa ancaman berupa bencana alam yang ditimbulkan oleh sebuah gunung berapi terkadang dapat melahirkan satu tradisi yang khas. Beberapa kawasan di Asia Tenggara, termasuk di daerah Maluku Utara, gunung terutama gunung berapi aktif dianggap sebagai representasi penguasa alam.
Oleh sebab itu, keberadaan gunung selalu dihormati dengan cara melakukan beberapa ritual tertentu. Sebuah gunung dianggap mewakili sosok yang mengagumkan sekaligus mengancam, sehingga diperlukan upacara penghormatan supaya keberadaannya menjamin ketentraman, keamanan, dan keberadaan masyarakat di sekitarnya. Demikian menurut Leonard Andaya.

Dalam perspektif ini, ritual adat kololi kie ini memiliki makna ganda selain merupakan tradisi yg selalu dilakukan leluhur jaman dahulu untuk menjiarahi beberapa tempat yang dianggap keramat juga merupakan upaya untuk menjauhkan masyarakat Ternate dari berbagai ancaman bencana dari gunung berapi Gamalama tersebut. Hal seperti ini juga terjadi di beberapa gunung di pulau Jawa, Sumatera dan tempat lain di nusantara ini.
http://ternate.wordpress.com

Istana Kesultanan Ternate

Benda-benda cagar budaya yang memperlihatkan bukti kejayaan Kesultanan Ternate, terdiri dari berbagai monumen baik artefak mau pun bangunan yang tersebar di seluruh bagian Pulau Ternate. Peninggalan-peninggalan itu antara lain istana (kedaton) yang didirikan oleh Sultan Mohammad Ali tahun 1823, runtuhan Mesjid Raya yang didirikan oleh Sultan Mohammad Zain abad XVII M.

Selain itu terdapat pula perbentengan yang mengelilingi istana kompleks makam dan berbagai benda keraton yang kini dihimpun dalam istana, yang telah dialihkan fungsinya sebagai keraton.

Menurut Prof. DR. Hasan M. Ambary, setidaknya di Pulau Ternate terdapat dua kompleks para raja Ternate, pertama di kaki bukit Foramadyahe dan yang kedua terletak di dekat kompeks Mesjid Agung Ternate. Yang dimakamkan di Foramadyahe antara lain Sultan Khairun dan Sultan Baabullah, sedangkan yang dimakamkan di dekat Mesjid Agung adalah para Sultan (dan eluarganya) yang memerintah antara abad XVIII-XIX.

Makam-makam yang menarik perhatian adalah makam para sultan yang terdapat di sekitar Mesjid Agung. Makam tertua di sini adalah makam Sultan Sirajul Mulk Amiruddin Iskandar Qaulin yang wafat pada Sabtu 10 Syawal 1213 H atau 13 Maret 1799 M, seperti tertera pada kaligrafi jirat/nisannya.

Seni kaligrafi di makam-makam Mesjid Agung ini terususun dengan indahnya, bergaya tulis Naskhi, dengan ragam hias floralistik khas Ternate yang memiliki persamaan gaya seni Polynesia.

Makam-makam lainnya bernama Sultan Maulana Tajul Muqayyam (1811) Sultan Maulana Tajul Mulk Amiruddin Qaulan (1850), Sultan Ayanhar Putra (1896), dan Sultan Muhammad Uthman (1943).

Museum Istana Kesultanan
Istana Kesultanan Ternate sesuai dengan pupusnya kesultanan seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, bukan lagi sebagai pusat kendali politik atas wilayah-wilayah yang pernah dibawahinya di masa lalu, sekarang berfungsi sebagai pusat pelestarian benda cagar budaya bekas Kesultanan Ternate.

Istana dengan bangunan gaya Eropa Abad XIX ini mengahadap ke arah laut, berada satu kompleks dengan Mesjid Kesultanan yang didirikan oleh Sultan Hamzah, Sultan Ternate ke-9, Istana Kesultanan Ternate terletak pada dataran pantai di Kampung Soa-Sio, Kelurahan Letter C, Kodya Ternate, Kabupaten Maluku Utara.

Istana kekar yang dikelilingi perbentengan ini, berubah fungsi menjadi Museum Kesultanan Ternate, yang menyimpan, merawat dan memamerkan benda-benda pusaka milik kesultanan seperti senjata, pakaian besi, pakaian kerajaan, perhiasan, mahkota, topi-topi perang (helmet), alat-alat rumah tangga, naskah-naskah (Al Quran kuna, maklumat, surat-surat perjanjian) dan sebagainya.

Senjata-senjata yang dipamerkan antara lain senapan, meriam kecil, peluru-peluru bulat, tombak, parang dan perisai.

Mengenai senjata tradisional (tombak dan pedang/keris/parang) terdapat catatan penting yang dikemukakan oleh Cornelis Speelman (1670) dan J.H. Toblas (1857) di mana disebutkan mengenai ekspor senjata (tombak dan pedang) dari Kerajaan Tobungku (Sulawesi Tenggara) ke Ternate dalam jumlah besar, terutama sebagai upeti, mengingat pantai timur Sulawesi pada abad XVI-XVII menjadi wilayah kekuasaan Ternate.

Sebagai kesultanan, Ternate tentu memiliki tingkat kemakmuran tinggi, setidaknya seperti yang tampak pada penampilan fisik kerajaan dan keluarga kerajaan. Emas merupakan salah satu indikatornya. Penggunaan berbagai bentuk emas sebagai hiasan tubuh, seringkali membuat tercengang orang Eropa yang menyaksikannya. Catatan Francis Drakke (1580) menggambarkan pakaian Sultan Ternate yang bertemu dengannya sebagai: “…Pakaian benang emas yang mewah, perhiasan-perhiasan dari emas dan kalung raksasa dari emas murni…”.

Koleksi emas Kesultanan Ternate baik yang diperagakan dalam vitrim museum yang disimpan oleh keluarga kesultanan antara lain berupa mahkota, kelad bahu, kelad lengan, giwang, anting-anting, buah baju, cincin, gelang, serta bentuk hiasan lainnya.

Cukup menggugah perhatian kita pula adalah berbagai koleksi yang berkaitan dengan administrasi kesultanan, seperti alat utlis, stempel kerajaan/kesultanan, maklumat, surat-surat perjanjian dan sejumlah naskah, termasuk plakat yang ditempatkan pada pintu depan istana.

Setidaknya terdapat 11 maklumat yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang dikirim kepada Sultan Ternate, antara lain mengenai: pergantian Gubernur Jenderal, meninggalnya Raja Willem III dan dilantiknya Ratu Wihelmina dan sebagainya. Yang penting dari maklumat adalah penyambutan secara lengkap nama dan gelar Sultan Ternate yang dikirimi maklumat yang juga seringkali ditemukan terpahat pada nisan-nisan.

Sejumlah surat perjanjian/kontrak juga dalam koleksi museum antara lain kontrak-kontrak yang ditanda-tangani oleh Sultan Ternate dengan kongsi-kongsi dagang maupun perorangan. Dari kontrak-kontrak tersebut, Sultan memperoleh sejumlah konsesi/uang sebagai salah satu sumber pemasukan keuangan Kesultanan. Salah satu kontrak itu dibuat/ditandatangani oleh Sultan Muhammad Uthman pada 27 September 1902 berkenaan dengan eksplorasi mutiara dan perikanan di Teluk Banggai.

Pada pintu depan istana, terdapat plakat beraksara Arab dan terjemahan dalam bahasa Melayu, yang intinya mengenai pembangunan istana pada 30 Dzukqiddah 1228 Hijriah atau 1871 Masehi.

Dari penelitian di lapangan, di Ternate diperoleh enam Al Quran yang ditulis oleh ulama setempat, dua di antaranya mencantumkan nama penyusunnya. Satu di antaranya disusun oleh Fakih Shaleh Afifuddin Abdulbaqi bin Abdullah al Adenani, yang menyelesaikan penyusunannya pada & Dzulkhaidah 1050 H (1640 M). Satu Al Quran lainnya diberikan oleh Sultan Muhammad Zain kepada Imam Mesjid Jiko (Ternate), yang juga disusun oleh ulama setempat pada 1284 H/1834 M.

Keraton (kedaton) Kesultanan Ternate yang dialihfungsikan sebagai museum ini didirikan oleh Sultan Muhammad Ali pada 1228 H/1814 M di atas tanah seluas 44.560 M2, berketinggian sekitar 50 meter di atas muka laut dan berjarak 250 meter dari garis Pantai Resen.

Melengkapi khasanah budaya masa Kesultanan Ternate ini adalah hadirnya benteng-benteng Portugis, yakni Benteng Santa Lucia (1502 M), Benteng Santo Paolo (1522 M), Benteng Santo Pedro dan Benteng Santa Ana; Belanda yaitu Ford Orange (1609).

Jauh mendahului lahirnya UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya maka pada tanggal 7 Desember 1976, para ahli waris Kesultanan Ternate dipimpin oleh Sultan Muda Mudzafar Syah, menyerahkan Keraton (bangunan dan lingkungannya) kepada Pemerintah (pasal 7 (1)) cq. Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk dipelihara, dipugar dan dilestarikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Silih bergantinya bangsa Eropa yang menduduki atau berusaha menduduki Ternate yang kaya rempah-rempah ini, membuktikan betapa strategis posisi Ternate untuk mengontrol perdagangan di Maluku dan Laut Sulawesi. Benteng, Keraton dan benda-benda sebagai dokumen sejarah dii Ternate, harus tetap dilestarikan untuk memupuk rasa kebanggaan nasional dan memperkokoh kesadaran jatidiri sebagai bangsa yang berdasarkan Pancasila.

Optimalisasi benda-benda cagar budaya Ternate, baik untuk obyek/daya tarik wisata budaya maupun bagi obyek kajian ilmu pengetahuan sejarah dan kebudayaan hendaknya memperhatikan dan menjamin keaslian dan terpeliharanya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Seluruh aparat terkait di Ternate, baik Depdikbud maupun Polri, Bea Cukai dan sebagainya, sesuai dengan Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1992 yang antara lain melarang (a) membara benda cagar budaya ke luar wilayah Republik Indonesia, dan (b) memindahkan benda cagar budaya dari daerah satu ke daerah lainnya. Mobilitas masyarakat yang semakin tinggi dan meningkatnya arus wisatawan, termasuk faktor-faktor yang harus diwaspadai, tanpa harus mengundang tindakan berlebihan.

Usaha pelestarian yang dilakukan oleh pemerintah, antara lain melalui berbagai pemugaran. Pemugaran Keraton Ternate dimulai dari tahun anggaran 1978/1979 – 1981/1982, yang peresmian purnapugarnya dilakukan oleh Mendikbud DR. Daud Jusuf, sedangkan purnapugar Mesjid Ternate diresmikan oleh Dirjen Kebudayaan Prff. DR. Haryati Sobadio pada 15 Oktober 1983. Tentu saja ini masih jauh dari memadai dibandingkan dengan jumlah benda cagar budaya di Ternate. Kemampuan biaya yang dapat disediakan oleh pemerintah amat terbatas dan karenanya sangat diharapkan keterlibatan penyediaan dana dari masyarakat dunia usaha.

Sumber : http://uun-halimah.blogspot.com

Pulau Halmahera

Gilolo atau yang disebut Jailolo adalah nama pulau di Provinsi Maluku Utara. Jailolo atau Gilolo adalah nama lain yang diberikan penduduk setempat untuk Pulau Halmahera di Provinsi Maluku Utara. Di sini digelar Festival Teluk Jailolo yang merupakan festival tahunan dan didukung komunitas budaya, pemerintah daerah, dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia.
Festival ini berulang kali meraih kesuksesan dimana semua komunitas budaya di Pulau Jailolo dan sekitarnya ikut berpartisipasi. Beragam tradisi unik hadir dalam festival ini termasuk teater dengan konsep panggung di atas laut dan menjadi ciri khas festival. Festival ini melibatkan ratusan penduduk Halmahera Barat yang terdiri dari anak-anak sekolah, nelayan, dan petani.
Festival ini menghadirkan teater “Cabaret On The Sea”  yaitu kabaret yang mengkolaborasikan cerita sarat filosofi dengan harmonisasi musikal menawan serta panggung besar yang mengapung di atas lautan. Konsep teater di atas laut ini  belum pernah ada sebelumnya di Indonesia bahkan dunia. Acaranya selalu dimeriahkan deretan kegiatan bahari seperti lomba dayung, renang, memancing, menjaring sampah, dan pemilihan duta bahari.
Festival Teluk Jailolo adalah salah satu contoh perayaan budaya yang menakjubkan. Pengunjung yang hadir akan disuguhi beragam pagelaran menarik seperti: Cakalele, Soya-soya, Legu Sarai, musik Yanger, Tataruba, Sara Dabi-dabi, Horum Sasadu, serta acara kuliner kolosal yang mengundang semua pengunjung untuk makan bersama.
Festival Teluk Jailolo berhiaskan langit biru yang membentang, gugusan tebing megah, hamparan laut jernih, serta pasir hitam lembut.
Festival Jailolo biasanya dimulai dengan upacara pembukaan di Teluk Jailolo yang diikuti kompetisi olahraga pada hari berikutnya. Kegiatan memancing merupakan sebuah tradisi di mana semua orang diundang untuk bergabung bersama. Beberapa diskusi penting mengenai budaya dan kontes pemilihan duta bahari juga merupakan bagian dari agenda festival ini.
Pulau Halmahera merupakan pulau yang indah seluas 17.000 km². Lautnya yang menawan terus menginspirasi festival ini setiap tahunnya. Penduduk Muslim dan Kristen bersama-sama berpartisipasi setiap tahun dalam perayaan penuh keharmonisan.
Anda dapat menuju Teluk Jailolo dengan perjalanan selama 3 jam penerbangan dari Jakarta menuju Ternate. Alternatif lain dengan penerbangan melalui Makassar atau Manado menuju Ternate. Dari Pelabuhan Dufa Dufa di Kota Ternate, Anda lanjutkan perjalanan melalui jalur laut dengan menggunakan speed boat selama 40 menit.

Pangeran Bertato dari Halmahera
Jailolo sering ditulis ‘Gilolo’ dalam literatur Barat dan merupakan salah satu kerajaan di Maluku. Istilah ‘Gilolo’ sebagai suatu suku bangsa merujuk pada sebuah kerajaan tua di pulau Halmahera Indonesia. Hingga saat ini tak ada satu tempat pun di dunia yang dahulu disebut Gilolo selain Pulau Halmahera di Indonesia.
Penyebutan Gilolo terkait  sumber sejarah dalam sebuah buku berjudul “A New Voyage Round The World” (1697) yang ditulis William Dampier dimana memuat gambar seseorang dengan tubuh dipenuhi tato dan merupakan penduduk asli dari Jailolo. Dampier merupakan seorang pelaut Inggris yang mengunjungi Laut Selatan dan Hindia Timur untuk tugas mengelilingi bumi dan mencari daerah baru.
William Dampier pulang ke Inggris dengan membawa serta Pangeran Giolo (Painted Prince; Giolo; Jeol)   yang bertato sekujur tubuhnya  ke London. Dampier membawanya ke Eropa karena tertarik gambar di tubuhnya. Pangeran ini dijadikan budaknya hingga ia meninggal di Oxford karena penyakit cacar.
Pangeran Giolo kemudian dikenal sebagai ‘Painted Prince’ atau penduduk asli dari Kepulauan Rempah-Rempah yang ditato tubuhnya. Ia memiliki tato di seluruh tubuhnya yang menarik perhatian penduduk London namun bahasanya tidak mereka pahami. Pangeran Gilolo ini kemudian menghidupkan kembali seni tato di Inggris, bahkan sekarang menjadi icon penggemar tato di dunia. Pangeran Giolo tersebut diyakini berasal dari pulau rempah-rampah di Hindia Timur atau Nusantara bagian timur, yaitu  Halmahera (Maluccas).

Sumber : http://www.indonesia.travel/id/destination/432/pulau-halmahera/article/93/keindahan-halmahera-dalam-festival-teluk-jailolo

Pekan Depan, Halmahera Barat Gelar Festibal Jailolo

Minggu, 8 Mei 2011 - 14:23 wib
HALMAHERA Barat memiliki daya tarik tersendiri. Salah satunya adalah sebuah festival seni dan budaya yang merupakan kebanggaan mereka, yaitu Festival Teluk Jailolo.

Kegiatan ini akan berlangsung untuk ketiga kalinya di tahun ini tersebut diharapkan dapat meningkatkan potensi kawasan Halmahera Barat yang kaya akan keunikan flora, fauna, keanekaragaman budaya, serta pesona keindahan alam liar yang sayang untuk dilewatkan.

Salah satu acara yang dipersiapkan dengan sangat istimewa untuk Anda adalah Cabaret On The Sea yang menampilkan pagelaran kabaret spektakuler yang mengkolaborasikan tema cerita yang sarat akan filosofi, kostum yang warna warni, harmonisasi aksi musikal yang menawan, serta panggung besar yang mengapung diatas lautan. Langit, gugusan tebing, hamparan laut dan pasir hitam yang lembut akan menjadi dekorasi pertunjukan persembahan alam  yang menakjubkan

Siapkan juga kamera Anda karena lomba foto juga akan digelar di sana, dengan objek luar biasa, yaitu eksplorasi panorama eksotis di sekitar teluk Halmahera Barat yang belum terjamah.

Anda juga dapat menjadi bagian dari masyarakat Jailolo dan tinggal bersama serta mengenal dengan lebih dekat berbagai keunikan adat dan budaya masyarakat penghuni pulau yang ramah ini. Datanglah ke Halmahera yang tak ada duanya dan biarkan pesonanya menyulap mata Anda.

Dapatkan pengalaman liburan yang mengesankan dengan berkunjung ke Jailolo, dan nikmati kemeriahan puncak acara Festival Teluk Jailolo 2011 yang akan berlangsung pada tanggal 14 hingga 18 Mei nanti.

Anda hanya memerlukan waktu 3 jam penerbangan dari Jakarta menuju Ternate, dapat juga melalui jalur tidak langsung seperti Jakarta - Manado - Ternate atau Jakarta - Makassar - Ternate. Dari Pelabuhan Dufa Dufa di Ternate, Anda dapat melanjutkan perjalanan dengan menggunakan speedboat maupun kapal besar selama 40 menit.

Sumber : http://travel.okezone.com/read/2011/05/08/408/454588/pekan-depan-halmahera-barat-gelar-festibal-jailolo

Dama Nyili-nyili Tidore

Sabtu 11 April 2009, siang sekira pukul 12.45 WIT, hujan mengguyur Tidore dengan derasnya. Itu hujan pertama setelah sejak beberapa bulan terakhir negeri yang melahirkan pahlawan nasional Sultan Nuku itu didera kemarau panjang.

"Belum setengah hari pawai Dama Nyili-nyili, Pataka dan Dibu Ake lewat disini (kelurahan Gamtufkange), hujan langsung mengguyur kota. Padahal sudah berbulan-bulan tidak hujan. Berkah yang luar biasa," ujar Hj Salma, pemilik penginapan Seroja, tempat okezone menginap selama di Tidore, saat tengah menyantap makan siang.

Sulit dipercaya memang. Tapi itu fakta yang terjadi dan bisa menjadi bukti bahwa kepercayaan warga atas ritual yang dilakukannya bisa membawa berkah. Tepat pukul 5.30 WIT obor suci Dama Nyili-nyili melewati jalan Sultan Amirudin usai dikeluarkan dari Masjid Sultan Tidore, jalur pertama yang dilewati adalah jalan tersebut yang merupakan gerbang utama masuk ke kota Soa Sio yang kemudian diarak mengelilingi Pulau Tidore.
http://news.okezone.com/photo/dt/content/2009/04/14/1/210650/sza2ETeC7H.jpg
Dama Nyili-nyili sendiri merupakan obor atau api (dama) yang sumbernya diambil dari negeri-negeri (Nyili-nyili) dalam wilayah kesultanan (Toloku) Tidore. Sebagai simbol semangat kebersamaan, perekat persatuan, yang tak pernah padam, Dama Nyili-nyili juga dipercaya mengandung kekhasiatan.

"Sebagian besar warga Tidore memang masih memegang teguh Adat Se Atorang yang menjadi falsafah dasar hidup. Sehingga dalam melakukan aktivitas hidupnya selalu berpatokan dengan tata cara adat," terang Walikota Tidore Kepulauan, Achmad Mahifa.

Dama Nyili-nyili atau obor dari negeri-negeri memang dianggap sebagai salah satu ritual yang bisa membawa berkah. "Dari sisi agama, ini bukan syirik. Tapi kembali ke muasal, manusia itu kan tercipta dari empat unsur yakni api, tanah, air dan angin. Nah, apa yang tersaji dalam Dama Nyili-nyili, Pataka Nyili-Nyili dan Dibu Ake Marijang merupakan keterwakilan dari unsur-unsur alam tersebut," rinci Walikota.

Pendapat Walikota yang merupakan keturunan salah satu marga sumber api suci itu memang tak jauh berbeda dari Abdullah Husain, pemangku adat di Gura Bunga yang juga lurah setempat.

"Dalam pandangan orang Tidore, sebelum beralih menjadi manusia, momole itu terbentuk dan berkolaborasi dengan api yang kemudian saling bertemu lewat pancaran air. Lalu kekuasaan itu diturunkan pada manusia. Kedengarannya sedikit syirik. Tapi seperti itulah warisan yang dipegang teguh hingga kini. Hingga kita menggelar ritual Dama Nyili-nyili ini," ujarnya.

Terakhir kali perayaan semacam ini pernah digelar puluhan tahun lalu. "Kala itu, Sultan Zainal Abidin Sjah bernazar, jika Papua masuk dalam wilayah NKRI (bukan Belanda), maka beliau akan menggelar Legu Gam yang prosesinya mirip Dama Nyili-nyili ini, namun dalam ritual yang lebih sakral. Dan niat beliau berhasil," kenang Abdullah.

Dama Nyili-nyili, bersama Pataka dan Dibu Ake Marijang sendiri diarak keliling kota Tidore melewati seluruh perkampungan di pulau yang mendapat julukan "Negeri Kemenyan" itu.

Dengan diarak enam Ngofa Se Dano (generasi muda) yang masing-masing membawa Dama, Dibu Ake, serta empat pembawa Pataka, bendera Indonesia, lambang Kota Tidore, dan lambang kesultanan.

Dama itu sendiri diarak secara estafet di gerbang masuk tiap kelurahan di kota Ternate yang diisi pembacaan Warkatuliklas dan Gosimo Borero (pesan untuk anak cucu) dan tarian-tarian khas daerah setempat.

Sebenarnya dalam rencana, kirab tersebut juga akan menyisiri seluruh wilayah yang pernah dikuasai kesultanan Tidore di era keemasannya pada pemerintahan Sultan Nuku yang meliputi pulau Tidore, Halmahera Tengah, Halmahera Timur, pulau Seram dan sekitarnya, Papua (gugusan pulau Raja Ampat), hingga jauh keluar negeri seperti Mikronesia ke kepulauan Marigas, Marshal (kini Republik), kepulauan Kapita Gamrange (kini trust teority USA), menuju Melenesia, kepulauan Solomon (milik Papua Nugini), terus hingga ke pulau-pulau yang hingga kini masih memakai nama Nuku seperti Nuku Hifa, Nuku Oro, Nuku Maboro, Nuku Nau, menuju wilayah Polinesia sampai Haiti dan kepulauan Nuku Lae, Nuku Fetau, Nuku Wange dan Nuku Nono di Pasifik.

"Sayangnya rencana itu terbentur dengan pelaksanaan agenda Pemilu 2009 sehingga harus dipending. Mungkin untuk tahun depan akan kita garap lebih meriah dengan mengundang wisatawan asing termasuk para keturunan Nuku di luar negeri yang masih ada seperti di Afrika Selatan untuk menyaksikannya," tutur Walikota Tidore Achmad Mahifa.

Dibu Ake Marijang : adalah air (ake) sebagai penyejuk dahaga, pembersih diri dan penyubur tanaman yang sumbernya diambil dari negeri Soa Romtoha (wilayah adat kesultanan Tidore). Air tersebut lalu diisi dalam sepotong bamboo beruas satu (dibu) yang juga dipergunakan dalam upacara adat dan tradisi lainnya.

Bambu beruas satu bermakna kesatuan yang berisi air sebagai sumber kehidupan yang ditutupi Goliho berdaun rimbun (bermakna rakyat banyak) yang dibungkus dengan kain putih sebagai perlambang pelindung (pemimpin) yang berhati suci melindungi rakyatnya.

Semua makna itu mengajarkan untuk menciptakan kehidupan rakyat yang lebih bermutu dengan pemimpin yang satu hati, langkah dan tekad bersama rakyatnya tanpa melupakan rasa syukur pada Yang Kuasa atas rahmat dan karunia-Nya.

Air tersebut lalu dibasuh dan dipercikan ke wajah pemimpin untuk mengingatkan agar selalu suci dalam berpikiran, perkataan dan tindakan

Sumber : http://wikiberita.net/sitemap/t-6975.html

Jumat, 26 Agustus 2011

SUKU TIDORE

SOSIAL BUDAYA
Orang Tidore mempunyai bahasa sendiri, yaitu bahasa Tidore. Di samping itu mereka juga memahami bahasa Ternate yang sejak lama menjadi lingua franca di kawasan Halmahera. Para pengamat kebudayaan didaerah Maluku Utara dan Halmahera Tengah pernah membuat pembagian daerah kebudayaan, yaitu Daerah Kebudayaan Ternate, Daerah Kebudayaan Tidore, dan Daerah Kebudayaan Bacan. Daerah Kebudayaan Tidore sendiri mencakup Kepulauan Tidore, dan Halmahera Tengah/Timur.
Mata pencaharian pokok sebagian besar masyarakat Tidore adalah bercocok tanam di ladang, menangkap ikan, berdagang, atau menjadi pegawai negeri. Di ladang mereka menanam padi, jagung, ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah, dan kacang hijau. Tanaman yang penting adalah cengkeh, pala, kelapa, coklat.
Dalam hal kekerabatan mereka menarik garis keturunan berdasarkan prinsip patrilineal. Salah satu kelompok kekerabatan yang penting adalah klen patrilineal, yang mereka sebut soa. Perkawinan ideal menurut adat mereka adalah kawin antara saudara sepupu (kufu). Adat menetap sesudah nikahnya utrolokal, artinya sepasang pengantin bebas memilih untuk menetap di lingkungan kerabat suami atau di lingkungan kerabat istri.
AGAMA/KEPERCAYAAN Suku Tidore umumnya beragama Islam. Tidore juga merupakan salah satu pusat pengembangan agama Islam di Maluku. Setiap desa ditandai oleh mesjid atau surau. Para pemimpin informal di desa-desa terdiri atas ustadz atau ulama.
KEBUTUHAN Walaupun daerah Maluku kaya akan sumber alam, namun ternyata menyimpan banyak desa miskin atau tertinggal. Saat ini yang dibutuhkan suku Tidore di Maluku ini adalah usaha menggerakkan ekonomi masyarakat, yaitu lewat diversifikasikan dalam pertanian, antara penanaman buah-buahann yang memiliki nilai ekonomis. Untuk pemasarannya, dibutuhkan usaha mewujudkan perhubungan terpadu, karena selama ini ternyata masing-masing subsektor berjalan sendiri-sindiri. Dibidang kesehatan, orang Tidore membutuhkan penambahan rumah sakit dan tenaga medis.
POKOK DOA
Kemudian daripada itu aku melihat : sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhintung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka. Dan dengan suara nyaring mereka berseru : "Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba !" (\\/TB #Wahyu 7:9-10*\\)
  1. Berdoa agar Tuhan mencurahkan Roh Kudus, berkat dan kasihNya di tengah-tengah suku Tidore, agar terang dan kemuliaan Tuhan bercahaya di atasnya. Berdoa agar hati mereka disentuh oleh kasih Tuhan melalui berbagai cara dan mereka yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan.
  2. Berdoa agar Tuhan yang empunya tuaian membangkitkan gerejaNya untuk bersatu dan bekerjasama, menyediakan pekerja : pendoa syafaat, penerjemah Alkitab, kaum profesional, penabur dan penuai untuk memberkati dan meningkatkan kesejahteraan hidup suku Tidore
  3. Berdoa bagi adanya lembaga & gereja yang digerakkan oleh Tuhan untuk mengadopsi suku Tidore yang juga berbeban dalam meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. 

(sumber : www.sabda.org)

BUDAYA LOKAL TIDORE (SONE MA DINA)


*     SONE MA DINA (RITUAL SEPUTAR WAFATNYA SESEORANG)
Pengertian sone ma dina secara harfiah mengandung arti ; sone = meninggal, sedangkan dina = sebutan terhadap jumlah hari setelah meninggalnya seseorang.

TRADISI SEPUTAR MENINGGALNYA SESEORANG
Dalam kehidupan masyarakat Tidore, bila ada salah satu warga masyarakat yang meninggal dunia, biasanya dikabarkan dari mulut ke mulut kepada keluarga, saudara dan kerabat. Walau berita duka ini disebarluaskan dengan cara demikian, namun kabar tersebut sangat cepat tersiar ke seluruh kalangan, di tempat kerja, kantor, pasar bahkan terhadap sanak family yang berada di pulau-pulau lain. Demikian pula setelah alat teknologi (HP) merambah dalam kehidupan masyarakat kota tidore kepulauan, menjadikan semua informasi serba instant termasuk berita duka.

Setelah mendengar berita duka itu, warga masyarakat mulai berdatangan ke rumah duka, terutama warga di kampung tersebut. Kegistsn pertama yang biasanya dilakukan adalah menyiapkan tenda yang dalam bahasa tidore disebut “sabua” di depan dan belakang rumah duka. Sementara warga yang lainnya menyiapkan liang kubur  sedangkan kesibukan dalam rumah duka sendiri adalah menyiapkan kebutuhan untuk pemakaman seperti; kain kafan, peralatan memandikan mayat serta kebutuhan lain yang berhubungan dengan pemakaman.

Sementara itu, kaum ibu-ibu datang membawa sembako seadanya untuk disumbangkan ke rumah duka yang akan dijadikan bahan baku konsumsi, berupa; beras, terigu, gula pasir, the dan lain sebagainya. Kaum ibu-ibu biasanya saat datang mulai menyiapkan dan membentuk semacam dapur umum di belakang rumah duka, bahkan di ruimah tetangga untuk menyiapkan makanan semua pelayat setelah selesai upacara pemakaman, kegiatan ini dikenal dengan tradisi “Lian” atau sering disebut dengan “Lilian”. Tradisi ini merupakan salah satu gotong royang masyarakat tidore.

Sedangkan kaum bapak mempersiapkan semua kebutuhan pemakaman yang sudah menjadi fardu kifayah bagi umat muslim yakni memandikan mayat, mangkafani, menshalatkan lalu jenazah menurut syariat islam.

Biasanya sebelum dilakukan pemakaman, ada musyawarah keluarga untuk menentukan masih adakah kerabat terutama anak kandung yang dituggu. Bila keputusannya harus ditunggu,maka upacara pemakaman ditunda beberpa jam, namun apabila diputuskan untuk tidak menunggu maka pemakaman segaera dilaksanakan.

Sebelum jenazah dikeluarkan dari rumah duka, biasanya dilakukan semacam seremonial yang dipimpin oleh salah satu yang mewakili tuan rumah. Setelah memberikan sedikit pengantar, diharapkan kepada seluruh warga yang hadir paDa saat itu memberi maaf kepada alamarhum/almarhumah sekaligus mengikhlaskan utang piutang semasa hidupnya.

TAHLILAN SETELAH WAFATNYA SESEORANG
Setiap meninggalnya warga masyarakat Tidore kebiasaan tahlilan harus dilakukan yang sering disebut tahlilan “sone ma dina”. Namun demikian juga beberapa kelompok masyarakat yang sudah tidak melakukan tahlilan sone ma dina, mereka ini oleh masyarakat yang masih melaksanakannya menyebutnya sebagai “orang muhammadiyah”, yang menurut mereka tidak pernah melaksanakan tahlilan dan ziarah kubur. Demikian pemahaman mereka terhadap aliran muhammadiyah.

Pelaksanaan tahlilan sone ma dina dilaksanakan pada malam ganjil setelah hari pemakaman. Adapun perhitungannya yaitu sebagai berikut :
-          Pelaksanaan tahlilan sone ma dina futu rimoi ; dilaksanakan pada malam hari setelah hari pemakaman. Pada tahlilan hari pertama ini di dalam kamar tidur dibuat semacam pusara yang terhampar di atas tempat tidur yang digunakan almarhum/almarhumah semasa hidupnya. Di atas tempat tidur di dekat pusara diletakkan pakaian dan perlengkapan pribadi milik almarhum/almarhuma. Tempat ini disebut dengan sone ma gunyihi. Sejak malam itu, ditentukan seorang imam/pemuka agama kampung yang bertugas untuk menunggui dan membacakan doa di tempat tersebut. Kegiatan ini dilakukan setiap hari hingga hari ke tujuh ataupun sembilan, sebelas dan bahkan ada yang sampai hari ke 15 yang disebut dengan ruba gunyihi ataupun kota hito.
-          Pelaksanaan tahlilan dina ke tiga yang disebut dengan sone ma dina futu range
-          Pelaksanaan tahlilan dina ke lima yang disebut dengan sone ma dina futu romtoha
-          Sedangkan dina hari ke 7, 9, 11 ataupun hari ke 15 merupakan dina yang paling besar yang dilakukan oleh masyarakat tidore atau yang disebut dengan kota hito.

Setelah itu dilaksanakan pada dina ke 40 yang sisebut dengan sone ma dina futu nyagiraha. Ada sebagian masyarakat yang melakukan pada hari ke 44, pada tahlilan ini disertai dengan membersihkan kubur. Setelah 40 hari kematian, tahlilan dilakukan lagi pada hari ke 100, namun sebagian masyarakat masih melakukannya pada kelipatan 10. setelah itu masyarakat melakukan tahlilan pada satu tahun hari kematian dan merupakan prosesi tradisi sone ma dina yang terakhir.