Jumat, 26 Agustus 2011

SUKU TIDORE

SOSIAL BUDAYA
Orang Tidore mempunyai bahasa sendiri, yaitu bahasa Tidore. Di samping itu mereka juga memahami bahasa Ternate yang sejak lama menjadi lingua franca di kawasan Halmahera. Para pengamat kebudayaan didaerah Maluku Utara dan Halmahera Tengah pernah membuat pembagian daerah kebudayaan, yaitu Daerah Kebudayaan Ternate, Daerah Kebudayaan Tidore, dan Daerah Kebudayaan Bacan. Daerah Kebudayaan Tidore sendiri mencakup Kepulauan Tidore, dan Halmahera Tengah/Timur.
Mata pencaharian pokok sebagian besar masyarakat Tidore adalah bercocok tanam di ladang, menangkap ikan, berdagang, atau menjadi pegawai negeri. Di ladang mereka menanam padi, jagung, ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah, dan kacang hijau. Tanaman yang penting adalah cengkeh, pala, kelapa, coklat.
Dalam hal kekerabatan mereka menarik garis keturunan berdasarkan prinsip patrilineal. Salah satu kelompok kekerabatan yang penting adalah klen patrilineal, yang mereka sebut soa. Perkawinan ideal menurut adat mereka adalah kawin antara saudara sepupu (kufu). Adat menetap sesudah nikahnya utrolokal, artinya sepasang pengantin bebas memilih untuk menetap di lingkungan kerabat suami atau di lingkungan kerabat istri.
AGAMA/KEPERCAYAAN Suku Tidore umumnya beragama Islam. Tidore juga merupakan salah satu pusat pengembangan agama Islam di Maluku. Setiap desa ditandai oleh mesjid atau surau. Para pemimpin informal di desa-desa terdiri atas ustadz atau ulama.
KEBUTUHAN Walaupun daerah Maluku kaya akan sumber alam, namun ternyata menyimpan banyak desa miskin atau tertinggal. Saat ini yang dibutuhkan suku Tidore di Maluku ini adalah usaha menggerakkan ekonomi masyarakat, yaitu lewat diversifikasikan dalam pertanian, antara penanaman buah-buahann yang memiliki nilai ekonomis. Untuk pemasarannya, dibutuhkan usaha mewujudkan perhubungan terpadu, karena selama ini ternyata masing-masing subsektor berjalan sendiri-sindiri. Dibidang kesehatan, orang Tidore membutuhkan penambahan rumah sakit dan tenaga medis.
POKOK DOA
Kemudian daripada itu aku melihat : sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhintung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka. Dan dengan suara nyaring mereka berseru : "Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba !" (\\/TB #Wahyu 7:9-10*\\)
  1. Berdoa agar Tuhan mencurahkan Roh Kudus, berkat dan kasihNya di tengah-tengah suku Tidore, agar terang dan kemuliaan Tuhan bercahaya di atasnya. Berdoa agar hati mereka disentuh oleh kasih Tuhan melalui berbagai cara dan mereka yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan.
  2. Berdoa agar Tuhan yang empunya tuaian membangkitkan gerejaNya untuk bersatu dan bekerjasama, menyediakan pekerja : pendoa syafaat, penerjemah Alkitab, kaum profesional, penabur dan penuai untuk memberkati dan meningkatkan kesejahteraan hidup suku Tidore
  3. Berdoa bagi adanya lembaga & gereja yang digerakkan oleh Tuhan untuk mengadopsi suku Tidore yang juga berbeban dalam meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. 

(sumber : www.sabda.org)

BUDAYA LOKAL TIDORE (SONE MA DINA)


*     SONE MA DINA (RITUAL SEPUTAR WAFATNYA SESEORANG)
Pengertian sone ma dina secara harfiah mengandung arti ; sone = meninggal, sedangkan dina = sebutan terhadap jumlah hari setelah meninggalnya seseorang.

TRADISI SEPUTAR MENINGGALNYA SESEORANG
Dalam kehidupan masyarakat Tidore, bila ada salah satu warga masyarakat yang meninggal dunia, biasanya dikabarkan dari mulut ke mulut kepada keluarga, saudara dan kerabat. Walau berita duka ini disebarluaskan dengan cara demikian, namun kabar tersebut sangat cepat tersiar ke seluruh kalangan, di tempat kerja, kantor, pasar bahkan terhadap sanak family yang berada di pulau-pulau lain. Demikian pula setelah alat teknologi (HP) merambah dalam kehidupan masyarakat kota tidore kepulauan, menjadikan semua informasi serba instant termasuk berita duka.

Setelah mendengar berita duka itu, warga masyarakat mulai berdatangan ke rumah duka, terutama warga di kampung tersebut. Kegistsn pertama yang biasanya dilakukan adalah menyiapkan tenda yang dalam bahasa tidore disebut “sabua” di depan dan belakang rumah duka. Sementara warga yang lainnya menyiapkan liang kubur  sedangkan kesibukan dalam rumah duka sendiri adalah menyiapkan kebutuhan untuk pemakaman seperti; kain kafan, peralatan memandikan mayat serta kebutuhan lain yang berhubungan dengan pemakaman.

Sementara itu, kaum ibu-ibu datang membawa sembako seadanya untuk disumbangkan ke rumah duka yang akan dijadikan bahan baku konsumsi, berupa; beras, terigu, gula pasir, the dan lain sebagainya. Kaum ibu-ibu biasanya saat datang mulai menyiapkan dan membentuk semacam dapur umum di belakang rumah duka, bahkan di ruimah tetangga untuk menyiapkan makanan semua pelayat setelah selesai upacara pemakaman, kegiatan ini dikenal dengan tradisi “Lian” atau sering disebut dengan “Lilian”. Tradisi ini merupakan salah satu gotong royang masyarakat tidore.

Sedangkan kaum bapak mempersiapkan semua kebutuhan pemakaman yang sudah menjadi fardu kifayah bagi umat muslim yakni memandikan mayat, mangkafani, menshalatkan lalu jenazah menurut syariat islam.

Biasanya sebelum dilakukan pemakaman, ada musyawarah keluarga untuk menentukan masih adakah kerabat terutama anak kandung yang dituggu. Bila keputusannya harus ditunggu,maka upacara pemakaman ditunda beberpa jam, namun apabila diputuskan untuk tidak menunggu maka pemakaman segaera dilaksanakan.

Sebelum jenazah dikeluarkan dari rumah duka, biasanya dilakukan semacam seremonial yang dipimpin oleh salah satu yang mewakili tuan rumah. Setelah memberikan sedikit pengantar, diharapkan kepada seluruh warga yang hadir paDa saat itu memberi maaf kepada alamarhum/almarhumah sekaligus mengikhlaskan utang piutang semasa hidupnya.

TAHLILAN SETELAH WAFATNYA SESEORANG
Setiap meninggalnya warga masyarakat Tidore kebiasaan tahlilan harus dilakukan yang sering disebut tahlilan “sone ma dina”. Namun demikian juga beberapa kelompok masyarakat yang sudah tidak melakukan tahlilan sone ma dina, mereka ini oleh masyarakat yang masih melaksanakannya menyebutnya sebagai “orang muhammadiyah”, yang menurut mereka tidak pernah melaksanakan tahlilan dan ziarah kubur. Demikian pemahaman mereka terhadap aliran muhammadiyah.

Pelaksanaan tahlilan sone ma dina dilaksanakan pada malam ganjil setelah hari pemakaman. Adapun perhitungannya yaitu sebagai berikut :
-          Pelaksanaan tahlilan sone ma dina futu rimoi ; dilaksanakan pada malam hari setelah hari pemakaman. Pada tahlilan hari pertama ini di dalam kamar tidur dibuat semacam pusara yang terhampar di atas tempat tidur yang digunakan almarhum/almarhumah semasa hidupnya. Di atas tempat tidur di dekat pusara diletakkan pakaian dan perlengkapan pribadi milik almarhum/almarhuma. Tempat ini disebut dengan sone ma gunyihi. Sejak malam itu, ditentukan seorang imam/pemuka agama kampung yang bertugas untuk menunggui dan membacakan doa di tempat tersebut. Kegiatan ini dilakukan setiap hari hingga hari ke tujuh ataupun sembilan, sebelas dan bahkan ada yang sampai hari ke 15 yang disebut dengan ruba gunyihi ataupun kota hito.
-          Pelaksanaan tahlilan dina ke tiga yang disebut dengan sone ma dina futu range
-          Pelaksanaan tahlilan dina ke lima yang disebut dengan sone ma dina futu romtoha
-          Sedangkan dina hari ke 7, 9, 11 ataupun hari ke 15 merupakan dina yang paling besar yang dilakukan oleh masyarakat tidore atau yang disebut dengan kota hito.

Setelah itu dilaksanakan pada dina ke 40 yang sisebut dengan sone ma dina futu nyagiraha. Ada sebagian masyarakat yang melakukan pada hari ke 44, pada tahlilan ini disertai dengan membersihkan kubur. Setelah 40 hari kematian, tahlilan dilakukan lagi pada hari ke 100, namun sebagian masyarakat masih melakukannya pada kelipatan 10. setelah itu masyarakat melakukan tahlilan pada satu tahun hari kematian dan merupakan prosesi tradisi sone ma dina yang terakhir.